Kolom #FilsafatTokaiAyam | Oleh Gusjaw Soelarto
SETIAP kata memiliki arti. Setiap arti memiliki makna. Setiap makna memiliki tafsir. Setiap tafsir memiliki pemahaman. Setiap pemahaman memiliki maksud. Setiap maksud memiliki motif.
Setiap motif memiliki kepentingan. Setiap kepentingan memiliki tujuan. Setiap tujuan memiliki jalan. Setiap jalan memiliki arah. Setiap arah memiliki panduan. Setiap panduan memiliki patokan.
Setiap patokan memiliki ketentuan. Setiap ketentuan memiliki pasal. Setiap pasal memiliki landasan. Setiap landasan memiliki filosofi. Setiap filosofi memiliki tata nilai. Setiap tata nilai memiliki kesepakatan.

Oke… Sekarang mari kita bersepakat untuk membedah perbedaan filosofis sebuah kata yang seolah bermakna sama dan sebangun. Namun sejatinya keduanya memiliki perbedaan mendasar atau filosofis tadi.
Kedua kata itu adalah: “miskin” dan “kere”. Yang dalam judul Kolom #FilsafatTokaiAyam ini, diposisikan saling berhadapan dengan kata hubung versus (vs). Dalam posisi “head to head” ini, keduanya tidak lagi saling berdampingan, sejajar, apalagi saling melengkapi.
***
AGAR runtut cara berfikir kita dalam urutan logis membedah “perbedaan” meaning kedua kata ini, kita harus sepakat mengawalinya dengan mengacu pada pengertiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
Kata mis.kin artinya tidak berharta; serba kekurangan atau berpenghasilan sangat rendah.
Sementara ke.re artinya orang yang sangat miskin; pengemis; peminta-minta; gembel.
Dari arti kedua kata sifat (ajektif) tersebut, menurut KBBI, sangat jelas persamaan dari keduanya. Sama-sama menyinggung soal persoalan “teknis”. Kata mis.kin dikaitan dengan “tidak” atau “kekurangan” seseorang dalam konteks “uang”, “harta” atau “rezeki”.
Sedangkan perbedaanya, antara mis.kin dan ke.re, juga hanya pada sisi “teknis”nya. Yakni soal derajat, level atau gradasi pada tingkat kemiskinannya. Kata mis.kin masih diposisikan sebagai “kekurangan uang/harta/rezeki” yang “lebih baik” dari kata ke.re.
Sederhananya, kalau mis.kin hanya sebatas “kekurangan uang”. Sementara ke.re benar-benar sudah “tak punya uang”–apalagi harta kekayaan–, alias “gembel”.
Sehingga, tidak salah jika kana-kana hujut hulup nangulub sebagai netizen di FB Grup Alumni SMA 70, saat ditanya “apa perbedaan antara kata mis.kin vs ke.re? mereka pada umumnya nyimpulkan:
“Yang miskin masih bisa gaya, kalau kere belum tentu gaya. Karena bisa jadi, memang dasarnya aja kere…#eh [Amira Naya Sakinah 70_05]
“Kalau miskin itu, ketika kebutuhan pokok kita sering tertunda. Sedangkan kere adalah kondisi seseorang yang merasa susah, akibat akumulasi keinginan-keinginan” [Hary Kusnadi 70_95]
“Miskin masih ada yang dia miliki walaupun sangat minim, tetapi kere alias melarat, ya benar-benar nggak punya apa-apa”. [Noor Hesti Widiati 70_87]
“Kismin belum tentu kere, tapi kalo kere udah pasti kismin”. [Arjuna Matulessy Jr. 70_82]
“Miskin belum tentu nggak punya uang, kere udah pasti nggak punya [Apiek Adriansah]
“Kere itu pendapat orang terhadap diri kita. Miskin itu pendapat diri sendiri terhadap situasi yang dihadapi.” [Tris Harno]
”Kere lu…! Nah itu becandaan kepada sohib yang minta ditraktir dalam kondisi sedang tidak menguntungkan.”
“Miskin banget lu…! Nah ini celotehan teman ketika mau beli barang aja mikir 70 kali. Padahal dia nggak minta dibeliin barang tersebut dengan rekannya yang berceloteh. Itu aplikasi nyatanya”. [Rafiq Salam]
Sementara [Arief Arief 70_87] mencoba memberi pemahaman sedikit lebih luas terhadap perbedaan antara kata mis.kin dan ke.re:
“Kere itu tidak punya uang atau harta. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali. Sedangkan miskin adalah kekurangan dan bukan hanya soal harta.
“Apapun yang masih kurang pada manusia dapat dikatakan miskin. Seperti miskin harta, miskin ilmu, miskin peduli, miskin budaya, miskin teman, miskin kemauan, miskin keingintahuan, dan lainnya”.
***

PERSOALAN MENTAL
PAKAR perkamusan bahasa mendiang WJS. Poerwadarminta (1904-1968), menjelaskan tentang perbedaan makna kata mis.kin dan ke.re –yang diadopsi dari bahasa Jawa ke dalam KBBI itu:
“Kere adalah orang miskin yang mengemis. Namun banyak orang miskin, yang tidak mengemis. Ada juga orang berkecukupan, tetapi malah mengemis. Jenis orang yang terakhir ini, yang disebut dengan “mental kere”.
Sangat menarik mencermati perbedaan kedua kata ini dari sisi persoalan mental manusia. Dan saya sependapat dengan penegasan Poerwadarminta ini.
Lantaran apa yang diungkapkannya, sepandangan dengan diskusi saya sekitar 20 tahun lalu. Dengan seorang sutradara “idealis” jebolan Institute Kesenian Jakarta (IKJ), Aria Kusumadewa. Peraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 2009 lewat karya filmnya berjudul “Identitas” –kebetulan saya ikut jadi crew dan pemeran pendukung tokoh jurnalis dalam film itu–, menegaskan tentang faktor mental, dalam pemaknaan kata ke.re.
Penjelasan singkatnya seperti ini; bahwa kalau seseorang disebut miskin, itu karena secara “teknis”, ia memang sedang tidak atau belum memiliki sejumlah uang di dompet, di bawah Kasur, di celengan semar, atau di rekening bank. Intinya, orang tersebut –mungkin saja kita–, memang hanya sedang kekurangan uang maupun harta benda saja.
Bisa jadi, cuma kebetulan saja sedang belum dapat kerjaan, belum ada proyek, belum dapat penumpang, belum gajian, belum ada transferan tagihan, dan belum mendapat uang belanja atau uang jajan.
“Gue memang sutradara miskin. Karena banyak nolak diminta garap sinetron ‘kejar tayang’. Tapi gue bukan kere. Karena gue nggak pernah ‘ngemis’ minta-minta kerjaan sama produser,” tegas Aria.

Jadi sesungguhnya, dari sudut pandang mental ini, “status” dan “dearajat” kata mis.kin, memang “lebih terhormat” dibanding makna kata ke.re. Sebagaimana beda antara persoalan “teknis” dengan perkara “mental”. Seperti juga sudah disinggung Poerwadarminta, bahwa “ada juga orang berkecukupan, tetapi malah mengemis”.
Begitu juga, ada orang yang sudah memiliki kekayaan berlimpah, harta menggunung, status sosial terhormat, pangkat dan jabatan tertinggi, namun masih “bermental kere”.
Artinya, jenis orang semacam ini, sudah banyak uang, sudah berlimpah harta, sudah punya banyak gelar kehormatan, gelar akademik bererot, level karir sudah top manager, namun masih saja rakus mengambil, bahkan merampok harta rakyat kecil –atau bahkan harta negara. Inilah sejatinya yang disebut dengan makna ke.re. Lantaran berkaitan langsung dengan persoalan mental dasar oknum manusia jenis “tikus-tikus berdasi” ini.
Seperti sebuah peristiwa “memalukan” yang dipraktekkan di depan publik Tanah Air baru-baru ini. Ada seorang menteri urusan sosial, yang justru terduga kuat telah “menilep” dana bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Ini peristiwa politik sekaligus budaya yang sangat dramatis, fantastis, dan sekaligus tragis…!!!
Artinya, persoalan “mental” memang menjadi persoalan yang sangat penting dalam membangun karakter manusia dan bangsa di negeri ini. Sehingga, jika pun sudah ada lembaga negara bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bertugas khusus melakukan pemberantasan korupsi. Sejatinya bukan pada persoalan “keberhasilan teknis” penangkapan koruptor secara Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang menjadi ukuran kehebatan KPK.
Namun seharusnya, ukuran kesuksesannya selayaknya diukur pada kemampuan KPK dalam membangun karakter anak negeri dan institusi negara, yang “tidak cacat mental”! Maksudnya, pencegahan terjadinya tindak korupsi, jauh lebih penting daripada melakukan penangkapan para “pemakan uang rakyat” –yang masih “tebang pilih”. Agar bangsa ini tak lagi menjadi “Bangsa Kere”…! ***
Menutup Kolom#FiksafatTokaiAyam ini, saya sempat membuat syair berikut:
SYAIR MISKIN vs KERE
Dari kasus korupsi “tilep” dana bansos
Ternyata memperjelas perbedaan
Antara MISKIN dan KERE
Kalau MISKIN itu sejatinya
Hanya Persoalan TEKNIS:
Memang sedang indak ado piti di saku
Tetapi kalau KERE itu
Ternyata Persoalan MENTAL:
DOMPET sudah TEBAL
REKENING sudah GENDUT
HARTA sudah MELIMPAH
KEKAYAAN sudah MENGGUNUNG
Namun…
Masih MARUK menggaruk HAK RAKYAT TERPURUK
Masih RAKUS mengendus MILIK JELATA HAMPIR MAMPUS
Masih SUNAT anggaran BERSIASAT PAT GULIPAT
Masih BERSIASAT saat TERJERAT SINDIKAT KEPARAT
Masih SULAP setiap PROYEK HASIL MARK-UP
Ciledug, 9 Desember 2020
***
Penulis:
Jurnalis Harian Umum Media Indonesia (1989-1997) | Redaktur Artistik Tabloid C&R dan Tabloid Buletin Sinetron (1999-2001) | Produser program “MK Files” di Makamah Konstitusi (MK) TV (2011-2012, tayang 53 episode di TV One)