#KolomFilsafatTaiAyam
Menulis Itu Nggak Susah. Juga Nggak Gampang. Yang Pasti Asyik!

SIAPA bilang menulis itu susah. Siapa bilang juga, menulis itu gampang. Lantas, sebenarnya menulis itu gampang atau susah sih…?!
Ya, menulis itu memang nggak gampang, tetapi juga nggak susah! Ya, yang pasti asyiiiikkk…!!!
Nggak percaya? Ya jangan percaya juga sih…! Karena kalo elo percaya sama gue, nanti bisa tergolong musrik..!
Hehehe… ya inilah asyiknya menulis. Kita bisa bermain, menari, bergoyang, meliuk, bahkan berselancar dengan kata-kata. Bebas! Sebebas alam pikiran dan daya imajinasi kita berkeliaran menembus batas…
Jujur, gue waktu masih halokes di hujut hulup, belum bisa menulis. Maksudnya, bukan nggak bisa menulis catatan pelajaran di kelas. Ogeb tengab sih loh! Maksudnya, saat itu gue belum bisa menulis sebuah artikel, esai, prosa, apalagi puisi.
Karenanya, waktu diminta jadi panitia Buku Tahunan di dua penerbitan (Buku Tahunan 70_86 & 70_87), gue bukan direkrut sebagai penulis atau reporter oleh ekskul Pusdok (Pustaka Domumentasi) SMA 70. Tapi cuma diminta sebagai Tim Disain Grafis/Artistik.
Dan pada era itu, belum ada komputer atau laptop disain grafis. Jadi mendisainnya masih dengan cara manual. Pakai pensil, spidol atau pulpen Rapido di atas kertas putih.
Untuk bikin judul naskahnya saja, masih pakai “Rugos”. Semacam stiker gosok berbagai jenis dan tipe huruf. Yang harus digosok di bagian atas lembar plastik. Barulah huruf yang akan disusun bisa menempel di atas kertas.
***

TERUS mulai kapan bisa nulis?
Nah, ini momen dalam hidup gue yang nggak bakal bisa gue lupain. Begini kisahnya: waktu gue kuliah jurusan Public Relation di Institut Ilmu Sosial & Politik (IISIP), Lenteng Agung, Jakarta Selatan, gue di semester awal sudah diajak membuat tabloid kampus oleh senior. Nama tabloidnya “Berita Kita”.
Sayangnya, usia tabloid kampus itu hanya seumur kecambah, alias toge ketoprak! Baru terbit edisi perdana, sudah langsung di “breidel” sama Rektor. Apes…!!!
Kok bisa..?! Karena di edisi perdana penerbitannya, tim redaksi langsung menurunkan Laporan Utama yang “menggugat” kebijakan kampus, dengan headline di cover depan: BUAT APA ADA PMR?

Memang di “Kampus Tercinta” IISIP, sudah lama mensyaratkan setiap mahasiswa baru, harus mengikuti semacam “penggojlokan” ala Palang Merah Remaja (PMR). Kalau tidak ikut, maka mahasiswa tersebut, bakalan nggak bisa mengikuti ujian skripsi di semester akhir nantinya. Berabe kan…?!
Ya tapi sudahlah… lupain semua pengalaman buruk itu. Lagi pula, tadi kan gue cuma mau cerita bagimana awalnya gue bisa nulis, iya kan…!?
Oke kita kembali ke laptop! Saat mendisain dan me-lay out tabloid yang dibreidel tadi, gue jadi sering begadang di kos-kosan senior. Itu sebabnya, gue sering pula ikut nongrong sambil diskusi sama senior-senior. Yang minimal sudah tiga tahun duluan masuk di IISIP. Walau saat diskusi, gue hanya jadi “kambing congek”.
Setelah kegiatan mendisain tabloid “Berita Kita” terhenti –lantaran dilarang terbit lagi, akhirnya gue memberanikan diri untuk mulai belajar menulis. Dan sudah pasti, gue minta diajarin menulis sama senior di kosan. Yang kebetulan, sambil kuliah ia sudah menjadi freelancer di Majalah Mutiara, media satu grup dengan koran Suara Pembaruan saat itu.
Dengan polosnya gue bilang, “Bang, ajarin gue nulis dong!”. Dia cuma senyum, sambil berkata, “Emang elo belum diajarin mata kuliah Penulisan Jurnalistik?”
“Ya belum Bang. Gue kan masih semester dua. Lagi pula, gue kan ambil jurusan Humas,” begitu gue jawab.
“Oooh… Begini, gue nggak bisa ajarin elo, bahwa menulis itu harus dimulai dari huruf A dan berakhir di huruf Z. Tapi kalau mau belajar menulis, elo nulis apa aja semampu otak lo. Terus, nanti gue kasih tahu kekurangan sekaligus kesalahan elo dalam menulis dimana?” katanya lagi.
“Nulisnya berapa halaman Bang?” lanjut gue.
“Ya terserah kemampuan otak lo seberapa? Mampunya satu alenia, ya nggak apa-apa. Mampunya satu-dua halaman, juga boleh. Terserah mau-maunya kau sajalah!” katanya dalam logat ke-batak-batak-an, padahal ia orang Sunda (Jawa Barat).
“Siap Bang, kalo begitu!” jawab gue lagi.
***

KEBETULAN saat kuliah, gue masih ikut nongkrong di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Kumpul bareng alumnus 70_87 yang masih melatih ekskul Teater 70.
Tapi sebenarnya gue bukan “murni” Anak Teater. Karena gue nggak pernah ikut pelantikannya. Bukan hanya di teater, di semua ekskul 70 yang pernah gue ikutin, gue nggak pernah mau ikutin pelantikannya. Mulai dari ikut ekskul Sigahana, sampe ikut Rohis SMA 70.
Buat gue itu nyusahin, lantaran kadang lebay cara penggojlokannya. Disamping itu, gue nggak suka suasana yang berbau “penindasan” senior atas yunior. Makanya Ketika masuk IISIP pun, gue nggak mau ikutan “penggojlokan” ala PMR yang disyaratkan oleh kampus.
Termasuk ketika di ekskul Pusdok, saat gue diminta jadi panitia buku tahunan. Sebenarnya memang gue juga bukan “murni” Anak Pusdok. Hanya saja, teman seangkatan gue yang jadi pengurus di Pusdok –yang melihat potensi gue–, kemudian “menarik” gue masuk jadi Panitia Buku Tahunan.
Nah, di Teater 70 pun, gue cuma ambil bagian untuk bantuin bikin disain selebaran atau poster pementasan teaternya. Sampai-sampai gue pernah terpilih dua kali sebagai Pemenang Poster Terbaik I di ajang Festival Teater Jakarta (FTJ) yang diselengarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Hebat nggak tuh…! Nggak lagi nyombong nih…
Iya elo emang hebat deh… Cuma yang jadi masalah, kapan elo mau mulai certain, mulai bisa menulis…?!
***

Eh, iya… ngelantur lagi yaa..?!
Singkat cerita gue diajak ikut acara pelantikan Anak Teater 70 di kawasan Ciloto, Puncak, Bogor. Karena gue alumnus yang bukan anggota resmi teater, jadi gue nggak boleh ikut “ngegojlok”. Dan gue juga nggak mau melakukannya.
Gue disitu cuma bertugas sebagai tim dokumentasi. Skill yang gue dapat sewaktu jadi panitia buku tahunan. Dimana gue pake kamera Pusdok, sering membantu pemotretan berbagai peristiwa keseharian di SMA 70.
Sepulang dari acara pelantikan anggota Teater 70 itu, gue akhirnya punya bahan juga untuk membuat tulisan. Seperti yang diminta oleh senior gue.
Mulailah gue menulis di malam hari dengan mesin ketik yang lagi nganggur di tempat kosan. Entah sudah berapa lembar kertas, gue buang ke temat sampah. Hanya untuk menyelesaikan sebuah liputan jurnalistik tentang pelantikan anggota baru Teater 70.
Hingga menjelang subuh, akhirnya selesai juga laporan jurnalistik itu sebanyak dua halaman folio. Dengan bangganya, pagi-pagi setelah senior gue bangun, gue serahin hasil tulisan semalaman itu.
“Ini Bang tulisannya,” sodor gue, sambil menyuguhkan secangkir kopi pahit sebagai “sogokan” supaya dia mau memeriksa tulisan gue.
Setelah menyuruput kopi yang gue bikin, si Abang senior itu meminta gue untuk mengambilkan pulpen berwarna merah. Mulailah ia membaca sambil mencoret-coret tulisan gue. Belum lagi rokok yang dihisapnya habis, ia kembalikan kertas dua halaman dengan penuh coretan tinta merah.

“Nih koreksiannya. Baca dan pelajari baik-baik, dimana letak kekurangan dan kesalahan elo dalam menulis,” pintanya.
“Baik Bang,” jawab gue agak grogi. Dan betapa kagetnya gue, begitu banyak coretan-coretan di atas karya jurnalistik perdana gue itu.
Karena cukup bingung membaca coretan-coretan wana merahnya, gue putuskan untuk menulis ulang pakai mesin ketik. Setelah selesai disalin, ternyata tulisan yang gue tulis dari jam sembilan malam sampai menjelang subuh itu, dari dua halaman hanya tersisa tiga alenia saja! Sadis nggak tuh…!
Tetapi setelah gue baca ulang, ternyata semua yang ingin gue laporkan dari hasil liputan pelantikan Teater 70 di Ciloto itu, tersampaikan dengan baik, jelas dan tuntas. Tidak bertele-tele.
***

KETIKA si Abang senior mau berangkat kerja, ternyata dia minta lagi tulisan yang sudah gue salin ulang itu. “Mana tulisan elo tadi,” pintanya.
“Untuk apa Bang?” jawab gue keheranan. “Mau gue usulin ke redaktur di kantor. Siapa tahu bisa dimuat,” jelasnya.
Berapa hari kemudian. Si Abang senior membawakan Majalah Mutaiara edisi terbaru. Dan betapa bahagianya gue, tulisan jurnalistik pertama gue itu, akhir muncul di salah satu sudut halaman Majalah Mutiara.
Seminggu kemudian, dengan bangganya majalah itu gue bawa ke tongkrongan Anak Teater 70 di Bulungan. “Nih berita pelantikannya sudah dimuat,” ujar gue kepada Sony Kotel, teman seangkatan 70_87, yang masih giat melatih Teater 70.
Hari itu kita semua happy. Selain karya jurnalistik pertama gue dimuat di media nasional. Juga bisa mentraktir temen-temen, dari honor pertama gue. Saat itu, gue terima “uang lelah” Rp. 17.500,-.
Untuk seorang penulis pemula, dengan hanya menulis tiga alenia kalimat saja, honor tersebut lumayan buat traktir tiga mangkok pangsit beserta tiga teh botolnya.
***

APA pelajaran penting yang bisa gue ambil dari tulisan sepanjang dua halaman folio yang kemudian bisa dipadatkan menjadi cukup tiga alenia saja?
Pertama, dalam menulis kita harus fokus. Maksudnya, harus ada sudut pandang (viewpoint/angel) yang mesti dipilih saat mulai menulis. Supaya karya tulis kita terarah, tidak melebar kemana-mana. Jika mulai melebar, segera kembalikan ke relnya semula, sesuai fokus sudut pandang yang dipilih.
Kedua, pilih kata yang paling sederhana untuk menyampaikan informasi yang memang ingin dituliskan. Agar pesan utamanya, benar-benar bisa tersampaikan dengan baik: jelas, tegas, dan jernih. Sekali baca, orang langsung faham.
Jika sebagai penulis, kita sendiri sudah tidak mudah faham dengan apa yang kita tuliskan, jangan harap orang lain sebagai pembaca juga bisa faham.
Dalam bahasa jurnalistik, dianjurkan untuk selalu menggunakan “kata dasar”. Yaitu kata yang tidak ber-awal-an dan ber-akhir-an. Kecuali memang terpaksa harus menggunakannya. Dan tidak ada pilihan lain.
Juga buatlah kalimat yang tidak “beranak kalimat”. Maksudnya, hindari kalimat panjang yang terhubung dengan tanda baca “koma” (,). Jika bertemu tanda baca “koma”, usahakan ganti dengan tanda baca “titik” (.). Buatlah kalimatnya berhenti di situ.
Anak kalimat yang berada setelah tanda baca “koma”, selain akan membuat orang lelah membacanya, juga akan mengaburkan pemahaman pesan utamanya. Lantaran kalimat terasa kepanjangan.

Ketika sejak Oktober 1989 gue sudah menjadi jurnalis profesional di harian umum Media Indonesia, gue pernah diajarkan seorang wartawan senior Kantor Berita Antara. Ia menganjurkan, bahwa dalam membuat satu kalimat –terutama di kalimat pembuka tulisan (lead)–, idealnya tidak boleh lebih dari 12 kata.
Juga, biasakanlah membuat kalimat dengan menggunakan “kalimat aktif”. Kalimat aktif adalah kalimat yang menggunakan kata dengan awalan “me”. Seperti “menggunakan”, bukan “digunakan”. Karena kalimat berawalan “di”, adalah kalimat pasif.
Ketiga, di awal belajar menulis, pilihlah tema yang paling sederhana. Yang benar-benar kita kuasai persoalannya. Karena tujuan utamanya hanya untuk melatih kelancaran menyusun kata-kata.
Keempat, perhatikan “urutan logis”. Maksudnya, dalam menulis memerlukan kecermatan dalam menyusun cerita yang urut dan runtut. Agar hubungan antar alenia/paragraf tidak lompat-lompat. Tetapi harus saling terkait. Tentukan dari awal, kita ingin menulis secara “linier” (dari A sampai Z) atau “flash back” (dari Z sampai A).
Kelima, dahulukan informasi yang paling penting. Dalam penulisan berita seperti ”spot news” atau “hard news”, maksimal dalam tiga paragraf, informasi dasarnya sudah bisa tersampaikan. Alenia berikutnya hanya semacam kalimat penjelasan yang lebih detil, untuk pembaca ketahui.
Konsep ini dinamakan prinsip “Piramida Terbalik”. Di sisi atasnya lebar, sementara di sisi bawahnya makin mengecil.

Umumnya dalam prinsip “Piramida Terbalik” itu, penyusunan kalimat berita spot news atau hard news, menggunakan metode 5-W + 1-H. Unsur 5-W: WHO, WHAT, WHEN, WERE & WHY (apa? siapa? kapan? dimana? kenapa?). Dan unsur pelengkapnya adalah HOW (bagaima?) peristiwa itu bisa terjadi.
Keenam, jika ingin menulis panjang, seperti esay, features, artikel, atau kolom seperti ini, biasakan lebih dulu membuat “kerangka” tulisan. Misalnya, dengan membuat pointer-pointer berurut ke bawah, berupa pertanyaan-pertanyaan singkat, yang nanti harus bisa dijawab, dalam tulisan yang kita susun sampai selesai.
Hal ini juga berkaitan dengan struktur tulisan yang ingin kita susun, dengan urutan logis “linier” atau “flash back”.
Ketujuh, menulislah dengan “otak”, bukan dengan “tangan”. Sebenarnya, poin ketiga ini harus berada di poin pertama. Karena sangat berhubungan dengan syarat utama “harus fokus”, dalam memulai menulis, untuk memilih suatu tema.
Kenapa harus menggunakan “otak”, bukan “tangan” dalam menulis? Karena memang otak-lah yang musti bekerja keras dalam membuat karya tulis. Layaknya mesin ketik/laptop/komputer, perangkat “tangan” hanyalah sebagai alat bantu dalam menulis.
Sebagaimana juga huruf, angka, dan tanda baca yang kita susun ini, hanyalah sebagai media untuk menyampaikan sebuah pesan. Sementara pesan (message) yang ingin kita sampaikan, adalah hasil kerja otak. Yang selanjutnya memerlukan “tangan” untuk mentransformasikannya dalam bentuk tulisan.

Sehingga, jika ingin menjadi penulis yang baik, maka perkayalah otak/wawasan kita dengan banyak ilmu, data, informasi, dan pengalaman empirik. Agar isi kepala kita yang sibuk “mengerjakan” karya tulis itu. Bukan semata tangan kita, yang hanya lincah menulis, tetapi tak ada ilmu, data, informasi, atau pengalaman empirik, yang bisa dipetik dari tulisan kita.
Sebagai contoh, Majalah Tempo ketika masih jaya, mereka tidak merekrut Sarjana Komunikasi atau Ahli Sastra untuk dijadikan wartawan hukum. Mereka justru merekrut Sarjana Hukum, yang bisa diajarkan menulis hanya selama tiga bulan. Dijamin sarjana hukum ini sudah mampu menulis berita kasus hukum dengan baik. Karena memang ilmu hukum yang dimilikinya, sudah ada di isi kepalanya.
Dari contoh di atas faham dong?
***

Dari sekian panjang tulisan gue ini, sebenarnya cukup diringkas penyampaiannya dengan hanya “tiga bait puisi” saja. Dan inilah puisi karya seorang penyair andal, yang justru jebolan dari Fakultas Musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Bahkan uniknya, ia bisa lolos masuk di Fakultas Musik IKJ, hanya bermodalkan “suara siulan” yang keluar dari mulutnya. Ketika awal mendaftar –lantaran tak punya alat musik–, ia hanya dites untuk bersiul oleh dosen musik IKJ paling eksentrik, Slamet Abdul Syukur, sang maestro musisi kontemporer Indonesia.
Sahabat gue ini, mendiang Bang Saut Sitompul, lewat puisi monumentalnya, telah berhasil membongkar sebuah paradigma, bahwa menulis puisi itu tidaklah sesulit yang kita dibayangkan. Berikut puisinya:
PUISI
tak usah pusing-pusing
bagaimana cara membuat puisi
cukup dengan pena di tangan
berjongkoklah di taman
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau
tulis
ada tanah terbakar
tulis
ada anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
ada bau mesiu
tulis
tulis
tulis
tulis
ada hujan
tulis
ada titik-titik terang
tulis
lalu aduk dengan kelepak
ladam telapak kuda sedikit
cukup
cukup
cukup
nah ini ada puisi
dalam puisi ini ada bunyi
bunyi kecapi atau cemeti
itu tak penting
dalam puisi ini juga ada bau
bau ubi bakar atau babi panggang
itu juga tak penting
tapi ini puisi berbunyi
tang!
Selamat menulis kawan… Seasyik Bang Saut menulis puisi ini.
***
Gusjaw Soelarto | Mantan Jurnalis Harian Umum Media Indonesia (1989-1997) | Redaktur Artistik Tabloid C&R dan Tabloid Buletin Sinetron (1999-2001) | Produser program “MK Files” di Makamah Konstitusi (MK) TV (2011-2012, tayang 53 episode di TV One).






