#KolomFilsafatTokaiAyam | #SelamatHariGuru
Pernahkah Kita Menyimpan Senyum di Wajah Mereka?
Oleh Gusjaw Soelarto

SAHABAT “kana hujut hulup nangulub”…
Di Hari Guru 25 November ini. Mari kita merenung sejenak. Kita berkhidmat beberapa detik saja. Untuk membayangkan. Sosok guru-guru kita. Orang-orang yang telah berjasa. Bagi perjalanan karir hidup kita.
Ayo kita coba ingat. Wajah-wajah mereka. Wajah yang selalu menghiasi. Hari-hari kita. Semasa kita menimba ilmu. Di SMA Negeri 70. Jl. Bulungan, Jakarta Selatan.
Dan tak lupa. Kita kenang pula. Senyum tulus. Guru-guru terbaik kita. Semasa TK. SD. Juga SMP. Karena merekalah. Kita bisa berhitung. Membaca. Mengenal rumus-rumus. Yang sebelumnya. Tak pernah kita fahami.
Dan juga kepada mereka. Kita belajar. Tentang budi pekerti. Tentang akhlakul kharimah.
Dan yang pasti. Karena merekalah. Kini kita berhak menyandang predikat. “ALUMNUS”. Merekalah. yang telah mengajar. Membimbing. Dan mendidik kita. Agar tahu. Faham. Dan terarah. Dalam menatap masa depan.
Sahabat… Jika di pundak kita. Di topi kita. Di seragam kita. Di dada kita. Di kalbu kita. Kini tersemat. Sebuah amanah. Yang bernama “Jabatan”. “Pangkat”. ”Gelar Akademik”. “Gelar Kehormatan”. Jangan sampai. Semua itu. Membuat kita. Melupakan jasa-jasa mereka. Guru-guru kita!
Pernahkah kita berfikir. Untuk mengabari mereka. Tentang keberhasilan kita? Anak muridnya. Yang mungkin saja. Pernah membuatnya jengkel. Kesal. Marah. Bahkan menangis?!
Pernahkah kita. Berbagi kebanggaan. Dengan mereka? Berbagi rasa syukur. Atau bahkan berbagi rezeki. Dengan mereka? Yang telah membimbing kita. Mengajarkan. Tentang manisnya kegigihan. Dalam menggapai. Sebuah cita-cita?!
***

MEREKA tentunya. Tak berharap. Balas budi dari kita. Apalagi berharap. Tentang materi. Dari murid-murid terbaiknya.
Bagi mereka. Mengajar. Adalah sebuah pengabdian. Membina. Adalah sebuah panggilan nurani. Mendidik. Adalah sebuah niat ikhlas. Untuk berlelah-lelah dalam ibadah.
Jika mereka. Guru-guru kita. Telah begitu ikhlas. Memberi ilmu. Lantas. Apakah kita. Telah membalas. Kesungguhan mereka. Dengan do’a. Di tengah malam. Atau permohonan “kecil”. Selepas beribadah. Bermunajat. Kepada Tuhan kita. Memohon. Kesehatan mereka. Di masa tuanya?
Jika mereka. Telah bersusah payah. Memberi pengetahuan. Apakah kita. Telah menyempatkan waktu. Sejenak. Untuk menjenguknya. Kala mendengar kabar. Tentang sakitnya?
Jika mereka. Telah bekerja keras. Menanamkan kebijaksanaan. Dalam jiwa kita. Apakah kita. Telah mengenangnya. Dengan berniat. Memudahkan. Sisa hidupnya. Dalam menikmati. Masa purna tugasnya?
Sebelum terlambat. Cari tahulah. Tentang kabar mereka. Hubungi mereka. Lewat telpon genggam-mu. Kunjungi. Bersama sahabat sekelas. Hibur mereka. Dengan kabar indah. Keberhasilanmu.
Bahagiakan mereka. Dengan sedikit. Keberkahan rezekimu. Sematkan. Senyum indah. Di wajah mereka. Saat mereka. Melepasmu. Di depan pintu rumahnya. Menyemangatimu. Untuk kembali. Mengarungi kehidupan nyata.
Sebagaimana mereka. Pernah melepasmu. Dengan penuh. Suka cita. Bahkan derai. Air mata. Di kala. Pengumuman kelulusanmu. Telah tiba!
Mereka sejatinya. Enggan berpisah. Denganmu. Ingin tetap mengajar. Dan mendidikmu. Namun mereka tahu. Bahwa “pelajaran”. Di papan tulis. Tak cukup. Ada kalanya. “Pengalaman”. Adalah “guru”. Yang lebih mampu. Membuatmu. Cerdas. Dan Tangguh. Dalam menghadapi. “Kerasnya” kehidupan.
***
SAAT kita. Masih menimba ilmu. Di Jl. Bulungan Blok C No. 1. Jakarta Selatan. Sering kali. Kita menganggap. Bahwa proses belajar. Di ruang kelas. Adalah sebuah keterpaksaan. Sebuah “penindasan”. Bahkan sebuah “siksaan”!
Sehingga. Dengan mudahnya. Kita “kabur”. Mangkir. Meninggalkan. Jam pelajaran. Tanpa beban. Tanpa rasa salah. Tanpa rasa berdosa. Sedikit pun!
Kita belum sadar. Bahwa ada orang. Yang berjiwa besar. Yang siap mengajarmu. Untuk menebar. Ilmunya. Kepada kita. Sosok santun. Yang tak pernah bosan. Mendidik kita. Dengan pengetahuannya. Agar kita. Menjadi manusia berguna.
Bagi mereka. Para “Pahlawan Tanda Jasa” ini. Tentu telah memahami. Perbedaan makna. Antara “mengajar”. Dan “mendidik”. Hanya kita saja. Yang belum mengerti. Belum faham. Atau bahkan bebal. Untuk mencoba. Memahami. Makna. Ketegasan mereka.
Bagi mereka. Mengajar. Hanya “menggunakan” kapur tulis. Atau pena. Namun dalam mendidik. Mereka “kerahkan”. Segenap hati. Dan kasih sayangnya. Buat kita.
Hanya kita. Yang tak tahu diri. Membalasnya. Dengan rasa malas. Dan keengganan. Bahkan kekesalan. Dan umpatan. Kepada mereka.
Bagi mereka. Sebagai wakil. Orangtua kita. Di kelas. Target mengajar. Adalah membuat. Murid-muridnya. Menjadi pintar. Namun sejatinya. Mereka mendidik kita. Agar menjadi siswa. Yang berakhlak mulia.
Bagi guru-guru kita. Jika mereka. Hanya sekadar. Berniat mengajar. Tentu mereka. Akan berhenti sejenak. Di malam hari. Melupakan kita. Muridnya.
Sedangkan sebagai pendidik. Mereka rela. Bangun sejenak. Di malam hari. Untuk bermunajat. Do’akan kita. Agar difahamkan. Sebuah ilmu. Dan pengetahuan. Yang telah diajarkannya. Pagi tadi. Setiap hari.
Sebab. Bagi mereka. Mengajar. Hanyalah untuk memberikan. Ilmu pengetahuan. Sedangkan mendidik. Sesungguhnya adalah. Tengah memberikan. Sebuah kebijaksanaan. Pada siswanya.
Mengajar bagi mereka. Adalah sebuah pekerjaan. Mudah. Yang hanya bertujuan. Memberi ilmu. Untuk mengatasi. Urusan dunia. Sedangkan mendidik. Tentu saja. Tidak mudah. Karena capaian akhirnya. Untuk memberi cara. Kiat. Bahkan rumus. Menjinakkan. Hawa nafsu. Agar tak cinta dunia.
Bagi para “distributor’ ilmu ini. Mengajar. Hanya akan memberikan kita. Gelar akademik. Sedangkan dalam mendidik. Mereka harus mampu. Membentuk pribadi. Yang tegar. Lagi berkarakter.
Mengajar bagi meraka. Hanya menjadikan muridnya. Bisa lulus ujian. Sementara. Dengan mendidik. Mereka ingin. Muridnya. Selalu berada. Dalam medan “perjuangan”. Dan “pengabdian”.
Mengajar. Bagi “agen keihlasan” ini. Hanya ingin. Murid-muridnya. Meraih berprestasi. Yang tinggi. Sedangkan mendidik. Bagi mereka. Ingin membentuk. Anak didiknya. Memiliki pribadi. Yang berbudi.
Dan jika meraka. Hanya sekadar. Ingin mengajar. Tentu mereka. Cukup puas. Dengan hanya. Menjadikan kita. Seorang ilmuwan.
Yang pasti. Kita akan diangkat. Derjatnya. Oleh ALLAH. Di dunia. Sedangkan mereka. Telah bersungguh-sungguh. Mendidik kita. Sejatinya. Hanya ingin. Mebentuk kita. Menjadi mansuia. Yang diridhai ALLAH. Dalam setiap. Langkah hidupnya.
***
PERTANYAANNYA kini. Masih ingatkah kita. Pada wajah-wajah. Tegar mereka? Pada wajah-wajah. Sabar mereka? Pada wajah-wajah. Ikhlas mereka?
Sudah ikhlaskah kita. Untuk tahu. Tentang kabar mereka? Tentang kondisi mereka. Di hari tuanya? Tentang kubur mereka. Yang tak pernah. Kita ziarahi?
Jika semua itu. Belum mampu. Kita lakukan. Dengan berbagai alasan. Yang seolah rasional. Setidaknya. Panjatkan. Kirimkan. Do’a terikhlas. Permohonan tertulus. Buat mereka. Guru-guru terbaik kita. Bahkan yang “ter-killer” sekalipun.
Ingin tahu. Seberapa besar. Rasa terima kasih kita. Kepada mereka? Semuanya tercermin. Dari seberapa banyak. Seberapa sering. Wajah-wajah mereka. Yang masih teringat. Yang masih menempel. Di dinding memori. Ingatan kita. Di lembaran tirai. Kalbu kita. Tempat kita memahami. Tentang arti. Sebuah cara berterima kasih…
Mengheningkan cipta. Dimulai…!
***
Gusjaw Soelarto | Ghirah70_87 | Jurnalis Harian Umum Media Indonesia (1989-1997) | Redaktur Artistik Tabloid C&R dan Tabloid Buletin Sinetron (1999-2001) | Produser program “MK Files” di Makamah Konstitusi (MK) TV (tayang 53 Eps. di TV One, 2011-2012).