Laporan Gusjaw Soelarto GAB70_87 | Pemred alumnisma70.com
BAGI alumnus Ex SMA 9 dan SMA 70 Bulungan-Jakarta, yang menempuh pendidikan sejak 1979 hingga 2004, tentu tak asing lagi dengan sosok Ibu Emmy Ambarita.
Pasalnya, Ibu Guru kelahiran Parapat, Sumut, 27 Desember 1943 ini, pernah mengajar mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn) dalam kurun waktu tersebut.
Ibu Ambarita yang memulai pengabdiannya sebagai guru di STM 2 Medan ini, sebenarnya mendapatkan ijazah keilmuannya dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Medan, berhubungan dengan ilmu Sejarah Anthropologi, yang idealnya ia mengajar mata pelajaran Sejarah.
“Tetapi, dengan kondisi di SMA 9 waktu itu banyak guru sejarah, maka saya ditugaskan mengajar mata pelajaran PMP. Yang sekarang menjadi mata pelajaran PPKn, hingga saya pensiun,” ungkapnya.

Selain mengajar, Istri dari Bangso Panjaitan, kelahiran Silaen, 29 Desember 1941 ini, pernah ditugaskan mengawasi kegiatan Ekstra Kurikuler Rohani Kristen (RohKris), juga membina ekskul Vokal Grup SMA 70 dan Paduan Suara (Padus) SMA 70.
Ibu Ambarita yang pernah merasakan “masa transisi” dari penggabungan SMA 9 dan SMA 11 menjadi SMA 70 di tahun 1981, pada mulanya merasa kaget dan bingung dikarenakan banyaknya siswa, maupun kelas, dan guru pengajarnya. Dimana saat masa penggabungan, 70 memiliki 91 Kelas dengan jumlah siswa 4.806 orang, 183 Guru, 11 Wakil Kepala Sekolah, dan 75 Pegawai Sekolah.
“Hati ini kadang tak tenang karena masih kurang cocoknya hati dan suasana dua sekolah yang berbeda karakter yang harus menjadi satu sekolah,” ungkapnya.
Namun, mau tak mau ia harus patuh pada keputusan pemerintah, untuk meredam “pertikaian” dua sekokah agar tenang dan damai dalam menimba ilmu. Bagi Ibu Ambarita, sejatinya ia tipe pribadi yang tak begitu sulit untuk beradaptasi, karena mudah bergaul terhadap sesama.
“Memang di awal penggabungan masih ada pengelompokan siswa dan guru sesama sekolahnya masing-masing. Setelah berjalan setahun proses belajar-mengajar di ‘Kompleks Bulugan’, mulailah perbedaan keduanya mencair, hingga akhirnya terbangun ‘kesehatian’ kami seluruhnya.” kisahnya.
Selama pengabdian 42 tahun sebagai pengajar di SMA 70, Ibu Ambarita pernah merasakan sejarah kepemimpinan lima kepala sekolah di awal keberadaan SMA 70. Yaitu alm. Drs. Darmadi (1982-1985), Drs. Joelioes Joesoef (1985 – 1992), Drs. Asrul Chatib (1992 – 1996), Drs. H. Syaridin Zas (1996 – 2000), dan Drs. Suyanto, MM (2000 – 2004).
“Di masa kepemimpinan Bapak Suyanto-lah saya memasuki masa pensiun. Seharusnya, sejak 1 Januari 2004, saya tak lagi mengajar di SMA 70. Karena tepat 27 Desember 2003, usia saya genap 60 tahun,” tutur Ibu Ambarita eksklusif kepada alumnisma70.com.

Namun, ia masih dipercaya kembali oleh Drs Suyanto, untuk mengajar hingga akhir semester genap di bulan Juni 2004. Tawaran ini diterimanya, lantaran ia masih merasa cinta dan bangga menjadi guru di sekolah yang sering disebut sebagai sekolah “danger” ini.
“Jujur walaupun saya mengajar di sekolah danger seperti 70 yang muridnya sangat majemuk – ada yang pintar, kocak, nakal-nakal, dan sedikit bengal-bengal–, namun saya tetap suka dan gembira. Karena mengabdi di 70 telah membuat saya semakin dewasa dalam mengajar dan mendidik para siswa,” katanya.
Meski sebagai manusia biasa, Ibu Ambarita pernah juga merasakan penat dan letihnya dalam mengajar. Namun kerab kali pula rasa penat dan letih itu terobati oleh kebanggaannya, saat mendengar kabar anak didiknya yang medapat prestasi yang luar biasa. Khususnya dengan siswanya yang tergolong “top” di kalangan pelajar lainnya, hingga mampu menjadi pejabat negara yang diandalkan bangsa ini.
Ia pun selalu bangga dan terharu, dengan sifat dan karakter anak-anak 70, yang masih saling mengasihi, serta saling care satu sama lain. Walaupun sudah lulus, namun mereka masih sering ketemuan dalam ajang reuni di setiap angkatan.
“Ini membuktikan, anak-anak 70 masih saling perhatian dengan sesama angkatannya,” ungkap Ibu Ambarita.
Terhadap para mantan guru, anak-anak 70 termasuk juga yang sangat peduli. Karenanya ia masih sering diundang setiap ada acara reunian, hanya untuk memberikan semacam tali kasih.
“Dan tak ketinggalan, anak-anak 70 selalu cepat merespon, bila ada mantan guru-guru mereka yang sedang sedang sakit, atau ada kabar duka cita,” paparnya.
Yang juga membuatnya sangat berkesan, kepada mantan kepala-kepala sekolah 70, sesama mantan pengajar dan karyawan di SMA 70 mereka masih saling mengasihi, hingga membentuk Forum Silaturahim Bulungan (Forsibul).
“Forum ini, beranggotakan kepala sekolah, guru-guru, dan para pegawai 70 yang sudah pensiun. Kami masih intens berkomunikasi hingga saat ini,” jelas Ibu Ambarita.

Guru Killer
Namun dukanya, ungkap ibu dari dua anak putra dan putra ini, ia kerap “stress” dan “jantungan”, saat menghadapi masa “musim tawuran” pelajar. “Jantung saya hampir copot, kalau sudah mendengar anak 70 terlibat tawuran antar sekolah sampai kedepan halaman sekokah,” kenang nenek lima cucu ini.
Ibu Ambarita pun merasa sedih kerap dijuluki guru “killer”, lantaran ketegasan dan kedisiplinannya dalam mendidik anak-anak 70. Padahal, sering kali ia harus pulang mengajar hingga sore atau malam hari, dikarenakan harus mengamankan murid-muridnya yang bisa terancam keselamatannya jika ikut perkelahian massal.
Karenanya Ibu Ambarita berpesan, agar siswa-siswa 70 yang masih menjalani proses belajar, sebaiknya mengikuti jejak dan prestasi para senior yang telah berhasil. “Belajarlah dengan disiplin dan punya satu harapan di masa datang. Biarlah murid-muridku alumni 70 dapat berguna bagi negara dan bangsa, berbakti pada orangtua, serta takut akan Tuhan,” harapnya.
Tentang kiatnya mengajar di 70 sebagai sekolah yang tergolong “danger”, ia selalu mengajar dengan tegas dan disiplin, untuk menanamkan rasa tanggungjawab. Mungkin, sikap inilah yang membuatnya selalu mendapat julukan guru “Killer”.
Paduan Suara 70
Sebagai pembina Paduan Suara (Padus) SMA 70, Ibu Ambarita yang masih aktif di FB Grup Alumni SMA 70 Jakarta, mengaku sangat bangga. Karena Padus SMA 70, sering membuat harum nama baik SMA 70, dengan mendapat suatu keberhasilan berupa juara ditingkat antar sekolah, provinsi, bahkan nasional.
Ia pun bangga dengan lagu “Mars SMA 70” yang diciptakan Komponis Nasional N. Simanungkalit, ayahanda dari Meirina Simanungkalit (70_87) dan Eldira Simanungkalit (70_89). “Pada waktu itu, pertama sekali lagu Mars SMA 70 dinyanyikan pada Upacara Bendera di 70,” kenangnya.
Dan tak lupa, ungkap Ibu Ambarita, ia patut berterima kasih kepada almarhumah Ibu Ida Hasidah. Sebagai pembina OSIS pada saat itu, guru energik itu sangat bersemangat membimbing Padus 70. Meski dengan cara beliau yang tegas dan terkadang terkesan “emosional”, demi mencapai kesempurnaan meraih prestasi yang membanggakan.
“Almarhumah memang sungguh luar biasa. Dedikasi beliau dalam mengajar di 70, benar-benar layak mendapat predikat ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’,” paparnya haru.

Dan momen yang takkan pernah bisa dilupakan oleh Ibu Ambarita, saat pengabdiannya sebagai guru selama 30 tahun pada 2009, ia mendapat apresiasi terhormat dari pemerintah. Sebuah “Lencana Emas” disematkan di dadanya, kala mendapat penghargaan kehormatan dari Presiden RI Megawati Sukarno Putri, bersama Pak Desmal Darjis dan alm. Pak Amir Surydinata.
“Terima kasih dan puji syukur kepada Tuhan, ternyata pengabdian saya selama ini, berbuah kebahagiaan bagi saya pribadi dan keluarga,” tuturnya.
Kini Ibu Ambarita, bisa menikmati kesempurnaan hidupnya dengan tinggal bersama suami, anak-anak, serta cucu, di kawasan Depok I, Bogor, Jawa Barat.
Anak pertamanya, Martha Panjaitan (Medan, 29 Juli 1969) telah menikah Henri Budiman Hutagalung (Medan, 1 Okt. 1965). Dan memberi Ibu Ambarita dua orang cucu; Wilona Benita Megawati Hutagalung (Jakarta ,14 Nop. 1999), yang kini sudh kuliah di Politeknik Teknik Sipil UI. Cucu kedua, Jevon Valentino Hutagalung (Jakarta, 3 Feb. 2004) yang tengah kuliah di Fakultas Elektro UI.
Anak keduanya, Nicolov MTH Panjaitan (Medan, 14 Nop. 1970) telah menikah dengan Christin Desima Tobing (27 Des. 1978). Yang telah memberinya tiga cucu. Cucu ketiganya bernama Juan Arswendi Panjaitan (Depok, 4 Sept. 2003), kini duduk di Kelas 3 SMA. Cucu keempat, Gavril Sorosito Digdoyo Panjaitan (Depok, Mei 2007) pelajar SMP kelas 2. Dan cucu kelima, Trois Wisdom Panjaitan (Depok, 3 Maret 2010) yang masih duduk di Kelas 5 SD.

Terima kasih guruku… Keikhlasan pengabdianmu yang penuh tantangan akibat kenakalan kami selama menimba ilmu di 70, kini telah berbuah kebahagiaan bagimu… Sebagaimana kami pun bahagia, telah menjadi bagian dari catatan sejarah hidupmu…
SAYA… GAYA… JAYA…!!!





