“FILSAFAT TOKAI AYAM”

Pengantar Kolom #FilsafatTokaiAyam

Ini adalah rubrik kolom baru di website alumnisma70.com. Berupa refleksi ringan dari Pemimpin Redaksi di website kesayangan kita ini. Insyaa Allah bermanfaat. Paling tidak, sebagai bacaan untuk menemani minum kopi di pagi atau sore hari. Bagi yang punya kegemaran dalam dunia tulis-menulis, silahkan untuk menanggapi atau mewacanakannya dalam bentuk tulisan sejenis. Pun boleh sekadar menanggapinya di kolom komentar. Yang terpenting, tanggapan, komentar, atau responnya komunikatif dan konstruktif. Selamat membaca dan menanggapi.

————————-

MOHON MAAF jika judul perdana kolom ini, langsung menimbulan tanda tanya atau kontroversi. Bukan tak sopan. Tetapi inilah bagian dari strategi komunikasi, agar banyak orang mau “menoleh” pada saat tulisan ini diturunkan. Bukan “kana hujut hulup” kalo nggak pinter “cari perhatian”. Bukan begitu bukan…?!

Ada tiga kosa kata dalam judul yang saya buat di kolom ini: “FILSAFAT”; “TOKAI”; dan “AYAM”. Mari kita bedah satu persatu, agar clear.

Pertama kata FILSAFAT. Saya tidak ingin membedahnya memakai kecanggihan cara berfikir filosof lokal Rocky Gerung; yang cerdas, bernas, dan kerap menggelitik akal sehat kita. Karena, sudah pasti jika saya memakai terminologi yang sering ia jelaskan, tentu saya tak mampu memaparkannya secerdas dan sejernih pemikiran mantan dosen filsafat UI itu.

Bisa-bisa kolom saya ini, hanya menjadi “fotocopy buram” dari pemikirannya. Maka saya sarankan, sebaiknya baca atau tonton saja langsung video paparannya tentang ilmu filsafat dan filsafat terapan, yang sudah banyak viral di berbagai channel youtube.

Singkatnya, kata filsafat yang saya singgung dalam judul kolom ini, pemahaman sederhananya bahwa salah satu ilmu tertua di muka bumi tersebut, adalah sebuah ilmu yang selalu mempertanyakan tentang segala hal. Dari akte kelahiran sampai peti mati dipertanyakan eksistensinya. Maksudnya, dari asal-usul kelahiran sebuah mahluk –bahkan jagad alam raya ini–, sampai kematian mahluk dan hancurnya alam raya ini di “hari akhir” kelak, harus terus dipertanyakan eksistensinya.

Dan jawaban dari semua pertanyaan itu, harus kembali dipertanyakan! Terus, terus, dan terus dipertanyakan. Tak pernah akan selesai dan tak boleh puas, lalu selesai! Agar lahir hipotesa baru dan antitesa yang baru pula. Antitesa baru akan dipertanyakan lagi untuk melahirkan anti-antitesa yang baru dan lebih baru lagi. Begitu seterusnya dalam proses melahirkan “filosfi kehidupan”.

Intinya, ilmu filasat adalah ilmu yang terus-menerus memproduksi “pertanyaan” guna memperbaharui pemikiran dan peradaban kehidupan manusia, lewat kekuatan berfikir manusia dan peradabannya sendiri. Seakan manusia hanya mengandalkan pada akalnya semata, yang tak butuh bimbingan “Wahyu Tuhan”.

Sehingga, jika ada orang yang memilih mendalami ilmu filsafat, namun ia tak mempersiapkan diri dalam menguatkan stamina/daya tahan kemampuan berfikirnya, bisa-bisa dia akan stress, depresi, bahkan bisa gokil!!!.

Dan yang sangat berbahaya lagi, jika pondasi keimanan orang itu belum kokoh pada konsepn tentang Tuhan dan berke-Tuhan-annya. Apalagi, ia baru akan menjadikan ilmu filsafat, sebagai “media” untuk mencari tentang siapa Tuhan-nya dan konsep berke-Tuhan-annya.

Hampir pasti, orang itu akan mudah “tergelincir” menjadi seorang yang atheis! Yakni, tidak mengakui keberadaan Tuhan. Atau minimal, ia bisa menajdi agnostik. Yaitu orang yang menolak “klaim tanpa bukti” tentang keberadaan Tuhan yang ghaib (tak kasat mata).

Umumnya kelompok pemikir yang  satu ini, cenderung tak beragama. Walau ada yang menikmati “agama” hanya sebatas “fenomena budaya” belaka. Pasalnya orang dalam kelompok ini, akan terjebak untuk sibuk mempertanyakan (baca: menggugat) tentang keberadaan dan eksistensi “dzat” Tuhan (baca: Allah).

Misalnya, Tuhan itu berwujud atau ghaib? Jika berwujud, dari dimensi dzat atau proses kimia apa dan bagaimana IA terbuat? Jika ghaib, lantas siapa yang menciptakan Tuhan tanpa bentuk itu?! Nah… mulai ngisup kan…?!

***

OKE, sebelum kita jadi ikut-ikutan atheis atau agnostik, sebaiknya kita relaksasi dahulu dengan membedah konotasi kata kedua judul kolom ini: TOKAI (bahasa prokem, untuk penghalusan istilah dari kotoran hewan atau manusia).

Maaf, mengapa benda dari hasil proses BAB (buang air besar) ini menjadi penting? Sehingga dijadikan elemen untuk penamaan kolom ini? Alasannya simpel, jangan pernah remehkan benda yang terkesan remeh-temeh. Bahkan hina sekalipun, karena bau dan bentuknya yang cenderung tidak artistik itu.

Pasalnya, jika tidak ada benda yang satu itu, bagaimana mungkin tubuh kita secara biologis akan bisa disebut sehat atau normal. Yang di masa “new mormal” ini, keberadaanya tetap dibutuhkan.

Sebagai apa? Ya itu tadi, sebagai “indikator” bahwa metabolisme tubuh kita sedang dalam keadaan normal, sehat, atau tidak?!

Karena jika ditelaah dari karakteristik bentuknya: padat, lembek, atau cair (maaf: mencret). Atau dari aromanya: bau “standart” atau bau busuk. Dari elemen zatnya: hanya kandungan dari sisa bahan makanan yang kita konsumsi atau bercampur dengan kandungan zat lain, seperti darah atau zat lainnya.

Ditelaah dari proses keluarnya: lancar, tersendat, atau tak terkontrol (maaf: cepirit –nulisnya sambil terkekeh karena terbayang-bayang pada pengalaman pribadi). Maka para dokter dari berbagai spesialisasi bisa menentukan sekaligus memutuskan, bahwa kita sudah boleh pulang dari rumah sakit atau masih memerlukan penanganan lanjutan.

Sampai sini jelaskan? Bahwa “kotoran BAB yang populer juga dengan sebutan tokai” itu, pada suatu situasi dan kondisi tertentu, akan menjadi media indikator fital. Bahkan bisa menjadi pertaruhan nasib atau masa depan ajal seorang manusia!?

Bukankah ada, orangtua yang harus mengeluarkan biaya besar untuk tindakan operasi, lantaran anaknya terlahir tanpa lubang dubur. Tempat benda “tak penting dan hina itu” harus dikeluarkan.

Intinya, bahwa benda atau zat yang terkesan “tidak penting dan hina” itu, sejatinya merupakan sesuatu yang “amat penting dan terhormat”. Sebagaimana Tuhan tidak pernah menciptakan segala sesuatunya untuk tujuan yang sia-sia!

***

KITA beralih mengupas tuntas kosa kata ketiga: AYAM.

Hewan berkaki dua dan bersuara merdu di saat berkokok menjelang tiba waktu subuh ini, ternyata keberadaannya cukup eksis dalam keseharian hidup manusia.

Masih meragukan? Coba jawab saja pertanyaan sederhana ini; kenapa untuk menganalogikan tentang “siapa/apa yang lebih dahulu eksis”, kita selalu meajukan pertanyaan dengan kalimat: ”lebih dahulu mana: ayam atau telor?”. Kenapa ayam yang musti dijadikan media analogi itu? Bukan kambing, mislanya.

Bukti lain dari begitu eksinya ayam, coba lihat dari menu lauk-pauk apa yang hampir tak pernah absen dalam sebuah acara bersekala besar maupun kecil di keluarga kita? Entah itu sekadar arisan, ulang tahun, khitanan, atau pernikahan.

Bahkan mulai dari momen pelantikan pejabat RT di desa Bojong Kenyot, sampai pelantikan Presiden di USA, atau penobatan seorang raja & ratu di Kerajaan Buckingham, Inggeris, sekalipun!

Jawabannya pasti: daging Ayam. Sebagaimana kita sulit membantah, bahwa perusahaaan kuliner waralaba terbesar di era milenial ini, umumnya berbasis bahan baku hewan peliharaan yang bernama latin Gallus Gallus Domesticus itu. Sebut saja jaringan bisnis waralaba KFC,  Texas FC, MacD, dan lainnya.

Dan yang tak kalah penting –jika mau lebih teliti–, ayam adalah hewan peliharaan “pekerja keras” yang “tak pernah mengeluh”. Di pagi buta ia sudah bangun. Membangunkan semua mahluk, termasuk manusia. Lalu bergegas mencari makan untuk mempertahankan kehidupannya.

Sementara manusia sebagai mahluk “paling sempurna”, masih ada yang bermalas-malasan. Bahkan masih mengeluh saat diberi rezeki, namun secara bersamaan, juga diberi cobaan, seperti pandemi Covid-19, misalnya.

Ayam juga tak pernah protes pada sahabatnya, Sapi. Meski, ketika telur hasil produksinya, dijadikan telor ceplok di atas penggorengan untuk menu sarapan pagi, lantas dikliam sebagai “telor mata sapi”. Ayam ikhlas-ikhlas saja menerimanya. Tanpa mengajukan gugatan ke Direktorat Hak Cipta Kementrian Humum dan HAM.

Bebagai jenis ayam pun tak pernah “mendemo” penciptanya, dengan “mogok berkokok” menjelang subuh. Ia pun tak pernah memprotes penguasa manapun. Tak pernah melakukan “penggalangan massa ribuan ayam” untuk pergi ke gedung DPR. Apalagi membentang sepanduk besar di depan Istana Negara. Untuk memprotes kenaikan harga pakan unggas, yang kerap membuatnya mati kelaparan, serta mengakibatkan banyak peternak ayam yang bangkrut.

Meski begitu, stok ayam potong dan telurnya tetap saja tersedia di warung-warung tetangga, di pasar tradisional, di online shop, di mal mewah; maupun di warung tegal, di rumah makan Padang, di kedai cepat saji, bahkan di resto-resto mewah berkelas internasional.

***

Nah sekarang, apa benang merah dari ketertautan “meaning” ketiga kosa kata dalam judul kolom #FilsafatTaiAyam ini?

Tentu saja saya tidak ingin “mendikte”, “mencekoki”, atau “mendogmatis” penafsiran dari pemaknaan, baik secara tersirat maupun tersurat, dari tulisan perdana di kolom yang saya gagas ini.

Saya hanya ingin kasih sedikit panduan, yakni: “filsafat” mempertanyakan eksistensi; “tai” benda dipersepsikan “hina” namun sejatinya “mulia”; dan “Ayam” binatang yang eksis dengan banyak kebermanfaatannya, serta selalu bersyukur dengan kodratnya.  

Pemaknaan selebihnya, justru saya ingin men-chalange para pembaca terhormat, untuk memaknainya secara personal. Karena saya masih ingin belajar dari para pembaca. Yang sangat mungkin bisa lebih cerdas dari saya dalam berpola berfikir maupun dalam hal teknis menuangkan buah pikirannya lewat media artikel seperti tulisan ini.

Sahabat kana hujut hulup yang saya muliakan, selamat mengolah dan memberdayakan pikiran cerdas Anda. Saya tunggu karya tulisnya, untuk saya turunkan di kolom santai ini. Tentunya, akan ada apresiasi dari tim redaksi, jika tulisan yang dikirimkan bisa menambah ilmu baru yang bermanfaat buat pembaca.

Hadiah spesialnya berupa e-Money Reuni Akbar 40 Tahun Alumni SMA 70 Bulungan dengan nama pemenang-nya. Segera kirimkan artikel Anda ke email: agussoelarto@gmail.com. Kami tunggu!

***

Penulis Gusjaw Soelarto

Jurnalis Harian Umum Media Indonesia (1989-1997); Redaktur Artistik Tabloid C&R dan Tabloid Buletin Sinetron (1999-2001); Produser program “MK Files” tayang di TV One 53 Eps. (produksi Makamah Konstitusi TV (2011-2012)

Bagikan :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn
mood_bad
  • Komentar tidak diijinkan
  • Post Terkait

    Post Terkait