#FilsafatTokaiAyam #MomenPergantianTahun
Memaknai Momentum “Kedatangan” dan “Kepergian”
Oleh Gusjaw Soelarto

BANYAK hal rutin dalam kehidupan keseharian kita. Ada yang menjenuhkan karena terus berulang. Dan ada yang malah mengasyikkan, walau juga terus berulang kali kita lakukan.
Poin penentu dari rutinitas yang dapat “menjenuhkan” atau malah “mengasyikkan” itu, ternyata pada ”kontinyuitas” atau “tingkat kekerapan waktu” antar rutinitas itu dilakukan, dikerjakan, atau tiba pada momennya.
Sebagai contoh nyata, pekerjaan kantor atau rutinitas kita belajar, dapat mencapai titik jenuh, jika dilakukan terus menerus setiap hari. Sehingga dalam menjalankannya, kita membutuhkan waktu jeda, berupa “hari libur” atau “cuti kerja”.
Sementara, ada sebuah aktivitas yang sepertinya tak akan membuat kita jenuh dalam menghadapi atau melakukannya. Walau, aktivitas dan peristiwa itu, selalu berulang dan akan terus terjadi –sampai dunia kiamat–, sebagai sebuah “rutinitas”. Momentum itu adalah, peristiwa “Pergantian Tahun”, yang populer dengan sebutan “Pesta Tahun Baru”.
Mengapa kita tak pernah jenuh menghadapinya? Bahkan kita selalu berharap, agar momen itu lebih cepat datang atau berulang?
Jawabannya, ada pada poin tadi: “kontinyuitas” atau “tingkat kekerapan waktu” momen itu datang dan kita hadapi. Yang tentunya, tak sependek rutinitas sebuah pekerjaan atau jadwal belajar itu datang.
Disamping bahwa, konotasi sebuah pekerjaan atau jadwal belajar, selalu dikaitkan dengan sebuah kata “tugas”, “tanggungjawab”, “kewajiban”, atau “beban”. Sementara momentum “pergantian tahun”, meski sama-sama sebuah rutinitas yang berulang, namun kerap dimaknai sebagai sebuah “pesta”, “liburan”, “relaksasi”, dan “hura-hura”.
***

SECARA hitungan waktu Tahun Masehi, dunia sudah bersepakat bahwa usia bumi berputar –dengan poros perputarannya mengacu pada Matahari sebagai pusat Galaksi Bima Sakti–, telah dihitung selama 365 Hari = 12 Bulan = 52 Pekan.
Sedangkan hitungan kalender Tahun Hijriyah (Tahun Baru Islam), yang mengacu pada hitungan perputaran Bulan terhadap Bumi, sistem penanggalan pertahunnya “hanya” 354 Hari = 12 Bulan = 50,5 Pekan.
Perbedaan pada sistem penanggalan kedua kalender ini, dengan sendirinya membuat hitungan Tahun Hijriyah lebih cepat/pendek 11 Hari dibanding Tahun Masehi. Dikarenakan, pergantian hari pada Tahun Hijriyah dihitung setiap mulai munculnya Bulan di malam hari (bertepatan saat masuknya waktu shalat Maghrib).
Sedangkan pada Tahun Masehi, pergantian harinya, dihitung mulai dari terbitnya Matahari. Yang secara hitungan start jam 00:00 GMT, dihitung dari mulai saat Matahari tepat di titik tengah kota Greenwich, London, Inggeris –yang kemudian dikenal dengan acuan “0 derajat” waktu GMT (Greenwich Mean Time).
Dunia juga mengenal kalender “Tahun Baru Imlek” –atau “Tahun Baru Thionghoa”. Dimana sistem penanggalan Tionghoa dan Islam sama-sama menggunakan unsur “Peredaran Bulan terhadap Bumi”, sebagai dasar perhitungannya.
Yang membedakan, hanya pada “titik tolak awal penghitungan” antara dua sistem penanggalan tersebut. Titik tolak penanggalan Tionghoa berawal pada milenium 3 Sebelum Masehi (SM), di masa kekuasaan Kaisar Huang Di (antara 2698 SM dan 2599 SM). Sedangkan titik tolak penanggalan Islam, pada momentum hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Mekkah menuju Madinah pada 622 Masehi.
***

TERLEPAS dari perdebatan tentang adanya perbedaan penghitungan waktu secara sistem penanggalan Kalender Masehi, Islam, dan Tionghoa. Yang menjadi sorotan penting pada setiap momentum pergantian tahun ini, sejatinya pada bagaimana memaknai sebuah “perubahan” dari “momentum lama” ke “momentum baru”, atau dari “sikap mental lama” ke “sikap mental baru”. Juga dari peristiwa antara “yang datang ” (baca: kedatangan) dan “yang pergi” (kepergian).
Berkaitan dengan makna “perubahan”, tentu sudah sering kita dengar sebuah ungkapan bahwa “yang tidak pernah berubah, adalah perubahan itu sendiri”. Artinya, sebuah perubahan itu pasti datang dan tidak bisa kita hindari, alias sebuah “keniscayaan”.
Pertanyaannya kini; jika perubahan itu memang tidak bisa kita elakkan, lantas mengapa kita cenderung tidak mau, enggan, atau bahkan menolak perubahan itu?
Konsekuensi logis dari pilihan sikap “tidak mau, enggan atau bahkan menolak” sebuah perubahan –yang tak bisa kita elakkan itu– adalah, tanpa sadar kita akan mengalami kemunduran –minimal statis, tidak bergerak, mandeg, atau tak bisa “move on”.
Pada sisi dan bidang apa kemunduran atau kemandegan itu akan terjadi? Tentunya, pada semua sisi dan bidang kehidupan manapun dan siapapun! Baik secara personal, komunal, emosional, profesional, juga skala lokal, global, nasional, bilateral, bahkan internasional.
***

SEKARANG telah tiba kita pada momentum di penghujung tahun 2020, menuju tahun baru 2021. Dimana kita harus berani memilih, untuk mengambil sebuah keputusan secara personal: ingin menjadi pribadi yang “move on” atau tetap “o’on”.
Inilah poin penting dalam catatan Kolom #FilsafatTokaiAyam kali ini. Di perbatasan waktu antara akan “meninggalkan” tahun 2020 dan ingin “menyambut kedatangan” tahun 2021.
Setiap menghadapi momentum tersebut, kita sering dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apa resolusi atau kesepakatan kita dengan diri kita sendiri, tentang apa yang harus kita “rubah kearah yang lebih”?
Menjawab pertanyaan tersebut memang terbilang susah-susah gampang. Dibilang susah, karena setiap resolusi membutuhkan jawaban nyata atau sebuah action. Dibilang mudah, jika kita hanya sebatas retorika dalam menjawab pertanyaan tadi, tanpa tanggungjawab penuh untuk mewukudkannya.
Bagi penulis sendiri, yang sejak Oktober 2020 lalu, diminta oleh Panitia Reuni Akbar 40 Tahun SMA 70 Bulungan sebagai Pemimpin Redaksi alumnisama70.com, tentu telah berazam akan “membesarkan” website kesayangan dan kebanggan almamater SMA 70 Bulungan ini. Tentunya dengan mengharap pada dukungan seluruh komunitas Alumnus SMA 70.

Alhamdulillah, tanda-tanda menuju kemajuan itu sudah terlihat. Setidaknya, sejak saya kendalikan kebijakan redaksinya dari Lantai 3 sebuah ruko di kawasasan Jl. RS. Fatmawati, Jakarta Selatan ini, sudah ada optimisme yang muncul. Yang hal itu, harus “terus dipupuk dengan kesungguhan dan kerja keras” agar memberi harapan yang lebih baik di tahun-tahun mendatang.
Survey membuktikan, dalam jangka waktu kurang dari 100 hari kerja, jumlah pengunjung pembaca info dan berita di alumnisma70.com, sudah hampir tembus angka 6.000 viewers. Dengan jumlah pengunjung yang “keluar-masuk” (Bounce Rate)sebesar 84.99%. Dan jumlah “pengunjung baru” (New Viewers) sebanyak 65% atau hampir 4.000an netizen dari sekitar 6.000an pengunjung.
Angka tersebut memang belum layak untuk dibanggakan. Walau tetap harus disyukuri. Lantaran jumlah capaian itu masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh lulusan atau komunitas alumnus SMA 70 Bulungan.

Dimana jika dihitung jumlah alumnus SMA 70 sejak lulusan angkatan pertama 1982 hingga angkatan milenial 2020, jumlahnya bisa mencapai 25.000 alumnus! Artinya, jumlah pengunjung website alumnisma70.com, sebagai website resmi alumnus SMA 70 Bulungan, baru mencapai 24% dari jumlah komunitas alumnus yang ada!
Jelas ini membutuhkan sebuah kerja keras dan kesungguhan yang tidak ringan. Ditambah dengan strategi komunikasi dan dukungan sumber daya manusia serta finansial yang tidak sedikit.
Secara matematika sederhana, jika dalam jangka waktu 3 bulan saja sudah mendapat 6.000an viewers. Maka untuk mencapai 25.000an viewers, tim redaksi harus dapat meraihnya dalam jangka waktu sekitar 9 bulan (300 hari) lagi. Ini target optimistik yang harus diraih!
Buat saya, tekad sudah diazamkan. Tanggungjawab sudah dipikul. Tak bisa dielakkan dan tak ada kata mundur. Bismillah…
Saya cuma berharap, agar Allah kuatkan pundak saya untuk memikul amanah dan tanggungjawab ini. Sambil terus berupaya merangkul sebanyak-banyaknya dukungan rekan-rekan alumni SMA 70 yang ingin ikut membesarkan keberadaan website ini.
***

ADA hal menarik selama saya “menggauli” kerja keredaksian website alumnisma70.com ini. Sambil mencermati konten apa yang digemari komunitas netizen alumnus SMA 70.
Ternyata memasuki bulan November 2020, banyak laporan “kabar duka” yang bisa saya jaring infonya dari berbagai status di Facebook Group Alumni SMA 70 Jakarta, yang dikomandoi alumnus 70_82 Triyudha Ratulangie Ichwan.
Sejak akhir November hingga pekan terakhir Desember ini, sedikitnya ada sebanyak 10 alumnus SMA 70, yang telah “dipanggil pulang menjumpai Sang Khalik”. Dan ternyata –dari data statistik insights—, konten duka inilah yang menjadi “magnet” tertinggi para alumnus tertarik untuk mengunjungi dan membaca info serta berita di website alumnisma70.com.
Jujur, membaca sekaligus mencermati real data ini, persaan saya berada dalam posisi antara senang dan bersedih. Senang karena jumlah pembaca website yang saya kelola semakin bertambah. Namun saya juga bersedih, lantaran merasa ikut ditinggalkan oleh rekan-rekan alumni 70. Baik yang saya kenal, maupun baru saya kenal, saat menggali data biografi untuk melengkapi berita duka yang akan saya turunkan.
Namun perenungan saya, berkaitan dengan akan berakhirnya tahun 2020 menuju tahun baru 2021, bahwa semua jejak waktu yang telah dan akan kita jalani esok hari, sejati hanya untuk menuju satu “kepastian”. Yaitu menghadapi KEMATIAN!
Artinya, suka atau tidak suka, kita semua pun akan “menyusul” rekan dan sahabat kita, yang biografinya telah saya tulis dan sempat netizen baca, belakangan ini.
Pertanyaannya kini, apakah catatan biografi kita akan sebaik dengan catatan biografi rekan kita, yang telah mendahului kita?
Sekali lagi saya harus jujur dengan diri sendiri. Bahwa saya belum yakin pada catatan perjalanan hidup saya, yang belum tentu sebaik “catatan hidup” mereka. Masih banyak yang harus dibenahi. Masih banyak yang harus direvisi. Masih banyak yang harus dijauhi dalam perjalan hidup kita mengisi “masa” dalam hitungan usia & umur kita.

Agar kita –minimal saya pribadi–, tidak termasuk dalam golongan orang-orang “yang dalam kerugian”. Seperti yang tertulis dalam “Kitab Suci” yang saya yakini. Bahwa dalam konteks tema kolom ini –yang membahas tentang momen waktu “memasuki pergantian tahun lama ke tahun baru”–, jika kita sebagai manusia tidak ingin “berada dalam kerugian”, seperti tertuang dalam surah “Waktu Sore” (Al-‘Asr – QS:103). Maka jadilah, “orang-orang yang beriman”, yang mau “mengerjakan kebajikan”, serta mau “saling menasihati untuk kebenaran”, serta “saling menasihati dalam kesabaran”.
Jadi jelas “arahannya”, bila kita ingin sukses memasuki sekaligus menjalani tahun 2021 – dan tahun-tahun berikiutnya. Dimana kita harus memperbaiki iman kita, banyak-banyak berbuat kebajikan, saling menasehati tentang kebenaran, dan saling menasehati dengan-dalam- tentang kesabaran.
Inilah panduan hidup kita dari “Sang Pencipta” (baca: Allah), agar kita bisa “Move On” dari sifat-sifat buruk di tahun 2020, yang akan segera kita “tinggalkan”. Yang jika kita tidak berpedoman pada “rumus perjalanan hidup” tersebut, tentu kita akan tetap menjadi manusia “O-on”.
Sehingga cukup aneh dan janggal, jika dalam merayakan momentum pergantian tahun itu, kita justru menyambutnya dengan perilaku-perlaku yang kurang bermanfaat. Atau bahkan dengan perbuatan maksiat! Hal itu, sama saja kita tidak sedang “Move On”. Melainkan masih tetap “O-on”.
Penulis, jurnalis Media Indonesia (1989-1997), Redaktur Tabloid Check & Ricek dan Tabloid Buletin Sinetron (1999-2001), Produser “MK Files” di Mahkamah Konstitusi TV (tayang di TV One 53 Eps. 2010-2011).