Octav 70_87 Vocalis Golgota Band: “Lo Nerek Bud…! 👍🏻”
Laporan Gusjaw Soelarto | Pemred alumnisma70.com
[Jakarta – alumnisma70.com]: Kabar duka belum juga usai membalut keharuan perjalanan sejarah Almamater 70 Bulungan-Jakarta.
Belum lagi pulih rasa kehilangan itu kita rasakan sepeninggal mantan Guru Agama Islam dan Wakil Kepala Sekolah SMA 70, Rusli A. Fattah (75 tahun), pada Kamis, 14 Januari 2021, pkl. 10:00 WIB. (Baca: https://alumnisma70.com/2021/01/pak-rusli-guru-agama-yang-penyabar-itu-telah-berpulang/)

Kini kabar duka telah datang lagi dari mantan murid sang guru, Budi Adrianus Daud bin Djalinus Daud, sehari setelahnya, pada Jum’at, 15 Januari 2021, pkl. 05.55 WIB, dalam usia 52 tahun.
Jika almarhum Pak Rusli meninggal akibat terdiagnosa Covid-19. Lain hal dengan almarhum Budi “GAB 70_87”,yang akrab disapa (maaf, red) “Budi Pacul” atau “Budi Tulang”.
Adik almarhum Illsya Eellschaa 70_95, yang menyampaikan kabar duka lewat FBG Alumni SMA 70 Jakarta (Jum’at, 15/1/’21, pkl. 07:49 WIB), mengatakan kepada alumnisma70.com, kakanda Budi wafat setelah dirawat di rumah sakit. Akibat mengidap penyakit Sirosis, yang sejak lama, membuat rusaknya organ hati akibat telah terbentuknya “jaringan parut” di hepar tersebut.
Lelaki kelahiran Jakarta, 20 Maret 1969 dari pasangan alm. Djalinus Daud dan Masni (78 tahun) ini, dimakamkan pada hari itu juga, di Ciputat, Tangerang Selatan. Almarhum meninggalkan seorang istri, Siti Arfah (38 tahun), dan empat orang anak. Mereka adalah, Nuno Al-Farabi (9 tahun), Welby Al-Ghazali (5 tahun), Yasmin Sita Romadona (3 tahun), dan Zafeera Sita Novarina (-1 tahun).

Menurut Illsya, almarhum selama ini tinggal bersama keluarganya di Bagan Batu, Riau. Mantan “Anak Metal” Golgota Band 70_87 ini, datang ke Jakarta dalam rangka pengobatan penyakitnya itu.
“Ternyata, hasil USG di bagian hati, sudah terdeteksi ada kanker ganas,” ungkap Illsya, seraya menambahkan diagnosa dokter juga menjelaskan, kankernya sudah stadium lanjut.
Akhirnya, lanjut Illsya, alm. Budi dengan sabar mengikuti empat kali rawat inap dan diligasi. “Namun, Allah ternyata lebih sayang kepada Abang,” tuturnya lirih.
Yang mengharukan, tambahnya, sebelum wafat –setelah urusan dunia kakanda diselesaikan–, almarhum yang merupakan anak tertua dari empat bersaudara, menyempatkan untuk meminta maaf kepada seluruh keluarga. “Lalu minta dibimbing Shalat Taubat oleh istri tercinta,” kisah Illsya.
Dan saat menjelang wafat, tambahnya, keluarga sempat membacakan Surah Yasin, termasuk anak-anak dan istrinya, yang mengelilingi di sekitar almarhum berbaring.

“Almarhum sempat ditalqin kalimat tauhid laillahailallah, yang diikuti almarhum secara perlahan-lahan, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya,” tutur Illsya lagi.
“Sungguh akhir hidup yang indah,” kenangnya, “entah apakah kita bisa mengakiri hidup seperti beliau…. Masyaa Allah…”
***
JIKA ada rekan almarhum yang cukup terkejut dengan kabar “kepergian” alm. Budi, ialah Octav Roberto Abednego Bachry.
Pasalnya, sesama “anak GAB 70_87” yang kini sudah menjadi “Penatua” di GPIB Jemaat Gibeon, Kodam Bintaro, Jakarta Selatan ini, ia mengetahui kabar duka rekannya itu, lewat akun media sosial “resmi” alumni 70 Bulungan.
“Gue tahunya dari postingan adik almarhum di FB Grup Alumni SMA 70 Jakarta,” jelas Octav, yang bersama almarhum pernah mendirikan Golgota Band. Ia sebagai vokalis, sementara almarhum Budi “Pacul” sebagai basis.
“Hubungan kita sangat dekat. Selepas SMA –meski kuliah kita berbeda-beda-, kita masih suka kumpul sesama personil Golgota Band, yang pernah tampil di Wisuda 70_87,” ungap Octav.

Saat itu, personil lengkap Golgota Band, selain Octav (A-1) dan alm. Budi (A-3), juga ada pemain gitar alm. Bambang Wibisono (A-3, wafat 1995, karena stroke), gitar Aryo Kuncoro (A-3), dan penabuh drum Adi “Dapis” Suwito (A-1).
“Kami sering nge-jump, bawain lagu-lagu Iron Maiden dan Heavy Metal lainnya,” jelas Octav. Yang bersama almarhum, terakhir nge-band pada 1993. Lantaran alm. Budi mulai sibuk menyelesaikan tugas akhir di Univ. Perbanas, Jakarta.
Sebagai soulmate, Octav sampai tahu dari mana asal muasal “nama julukan” almarhum –yang menjadi ciri khas “kana-kana 70 Bulungan”–, yang umumnya memiliki “nick name” dari rekan terdekat atau teman seangkatannya masing-masing.
Tentunya pemberian “nama alias” itu, tanpa bermaksud “menghina” atau “merendahkan” pribadi atau nama aslinya. Namun hanya sekadar sebagai “penanda” dari kemungkinan sekian nama yang sama, di antara sekitar 500an murid satu angkatan di SMA 70 kala itu.
Menurut Ovtav, nama panggilan “Pacul” buat alm. Budi, lantaran jika sedang berdiri atau berjalan, postur tubuh almarhum agak membungkuk, sementara bahunya agak naik. “Seperti bentuk ‘pacul’,” ungkapnya.
Sementara untuk sebutan “tulang”, yang juga disematkan ke nama alm. Budi, “itu merupakan panggilan khas alm. Bayu Susdiyanto (A3) kepada Budi, yang sekelas di 3-A3-5,” tambah Ovtav.
Sebagai pribadi, tuturnya, alm. Budi adalah sosok pribadi yang terbuka. Hampir tak ada hal yang disembunyikannya dalam bergaul.
Dan yang paling diingat Octav, almarhum selain berjiwa penuh inisiatif, juga memiliki rasa setia kawan yang sangat tinggi. “Melebihi dari yang gue kira sebelumnya.” tandasnya.
Berkaitan dengan penilainnya itu, Octav memiliki pengalaman unik, yang masih terus dikenangnya hingga kini, bila teringat sosok almarhum.
Suatu waktu di malam minggu, ia bersama almarhum sempat “nonkrong” di sebuah café musicdi kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Malam itu, kisah Octav, di café yang tak terlalu luas tersebut, pengunjungnya cukup penuh. “Sehingga gue terpaksa nongkrong di depan café, sementara alm. Budi berada di dalam,” jelasnya.
Tiba-tiba, ada seorang pengunjung “teler” yang menghampirinya, seperti hendak mengajak “ribut”. “Gue santai aja, nggak ngeladenin. Ternyata ada yang melapor ke alm. Budi yang masih di dalam café,” kisahnya.
Seketika, almarhum keluar, dan langsung mau menghajar “pemuda yang teler” tadi. Yang saat itu sedang diamankan dua orang security cafe.
Saat itu juga, alm. Budi langsung menghampiri “pemuda teler” itu, dan berbicara tegas, “Kalo sampe lo nyolek dia, lo bakal berurusan sama gue!” ancam alm. Budi kala itu, yang ditirukan Octav.
Tentang penyakit Sirosis, yang menyebabkan “kepulangan” almarhum, Octav mengaku baru mengetahui hal tersebut. “Soal penyakit itu, jujur gue baru tau nih,” ujarnya kepada alumnisma70.com.
Pasalnya, ungkap “pelayan jemaat” yang pernah berambut “metal” ini, disaat pertemuan terakhir kalinya dengan almarhum pada 1993 –di saat menjenguk Bambang, personil Golgota Band yang terserang stroke–, ia belum melihat gejala penyakit itu pada diri alm. Budi.

Selepas peristiwa itu pun, Octav seperti loss contack dengan almarhum. “Gue baru keep contack lagi tahun 2016, via faceebook. Dan baru tahu, almarhum sudah tinggal di Riau bersama keluarga,” jelasnya.
Kepergian seorang teman atau anggota keluarga, memang kerap tak pernah kita duga sebelumnya. Karena sepenuhnya, “hak prerogatif” itu ada pada Sang Khalik, pemilik diri kita yang sesungguhnya.
Sementara sebagai sesama manusia, kita wajib untuk memberi “penghormatan terakhir”, kepada mereka yang telah “mendahului” kita. Sebagaimana Octav, mewakili rekan satu band-nya, serta rekan sesama almamater GAB 70_87, dengan menyampaikan “satu kalimat terakhir” buat soulmate-nya ini: “Lo nerek Bud…! 👍🏻”
***
Foto Dok Pribadi Octav | Dok. Pribadi alm. Budi Adrianus Daud